Month: February 2021

SKB Tiga Menteri dan Lemahnya Komunikasi Antarbudaya Pemerintah

Akhir-akhir dunia pendidikan diramaikan dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang melarang sekolah mewajibkan pemakaian seragam dengan atribut agama di lingkungan pendidikan. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa pakaian siswa adalah hak dan pilihan orang tua dan siswa, sekolah tak berhak mengatur.

Ini berawal dari kasus kesalahpahaman yang terjadi di SMKN 2 Padang di mana muncul keluhan dari peserta didik nonmuslim yang keberatan dengan pemakaian pakaian muslimah sebagai seragam di SMKN 2 Padang. Satu kasus ini hendaknya bisa diselesaikan dengan musyawarah dan komunikasi yang baik, namun ternyata permasalahan ini semakin membesar hingga keluarlah SKB Tiga menteri yang mengatur tentang seragam sekolah secara nasional.


Keluarnya SKB Tiga Menteri ini mengundang kontroversi di masyarakat, hingga Kemendikbud kembali menjelaskan bahwa aturan ini hanya berlaku di lingkungan sekolah negeri di bawah Kemendikbud. Akan tetapi, hingga sekarang isu ini tak kunjung redam karena banyak masyarakat muslim yang keberatan dengan aturan ini, terutama di Sumatera Barat. Pertemuan antara MUI Sumbar, ormas-ormas Islam, Bundo Kanduang, dan tokoh masyararakat pada Rabu (10/2) di kantor MUI Sumbar bersepakat menolak SKB Tiga Menteri tentang pakaian seragam sekolah.

Menurut mereka, pemerintah tidak memahami nilai yang berlaku di masyarakat Minangkabau yang menganut ‘Adaik Basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah; Adaik Bapaneh, Syara’ Balinduang; Syara’ Mangato, Adaik Mamakai’. Dalam falsafah adat Minangkabau, aturan Islam adalah fondasi yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau. Falsafah hidup ini salah satunya turut mempengaruhi cara berpakaian mereka yang menutup aurat sesuai ketentuan Islam.


Hal ini juga disuarakan oleh Guspardi Agus, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional asal dapil Sumbar saat rapat paripurna di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (10/2). Guspardi menyatakan bahwa penerbitan SKB Tiga Menteri yang mengatur seragam sekolah sangat berlebihan dan bertentangan dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 tentang kebebasan warga negara untuk menjalannya agamanya. Selain itu dia juga menambahkan bahwa SKB tersebut bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di mana tujuan pendidikan nasional adalah menjadikan manusia beriman dan bertakwa.

Menyelesaikan Permasalahan sesuai Konteks


Asal-muasal munculnya kasus ini adalah keberatan pemakaian seragam sekolah beratribut agama Islam oleh seorang siswi nonmuslim. Artinya, kasus ini seharusnya didudukkan sebagaimana konteksnya, yaitu memberikan kebebasan bagi siswi nonmuslim untuk tidak memakai pakaian seragam beratribut agama Islam. Tentunya itu pun harus tetap mengikuti kaidah kesopanan di masyarakat tempat dia tinggal. Akan tetapi yang terjadi di lapangan justru melampaui permasalahan terjadi. SKB Tiga Menteri turut masuk ke ranah lain yaitu melarang sekolah mewajibkan siswa muslim untuk berpakaian seragam dengan atribut agama. Satu kasus yang seharusnya diselesaikan tapi faktanya mengintervensi ranah lain yaitu nilai yang mengatur kehidupan sosial masyarakat muslim Minangkabau.


Jika merujuk pada aturan Islam, cara berpakaian umat Islam diatur oleh agama yaitu harus menutup aurat dengan sempurna. Pakaian bagi perempuan memakai kerudung/khimar atau yang biasa disebut jilbab di Indonesia. Menutup aurat ini perintah wajib dari Allah bukan pilihan. Sama dengan kewajiban salat yang perintahnya bukan untuk dipilih.

Masyarakat itu hidup diikat oleh nilai-nilai, itulah yang merekatkan mereka dan menjaga keharmonisan kehidupan mereka. Hingga saat ini, kita masih sepakat bahwa Indonesia mengakui hukum-hukum adat atau pun nilai-nilai yang menjadi norma di masyarakat. Karakter dari norma, aturan, atau nilai-nilai adalah adanya kontrol sosial dalam penjagaannya di masyarakat. Norma itu mengikat, bukan pilihan dalam kehidupan bermasyarakat. Aturan berpakaian muslimah bagi siswi muslim di ranah Minang seharusnya tidak diganggu-gugat oleh pemerintah karena itu adalah bentuk kontrol sosial masyarakat Minang dalam menjaga nilai-nilai kehidupan agama mereka. Kontrol sosial adalah bentuk edukasi masyarakat agar tetap berada di jalur yang sesuai dengan kaidah nilai-nilai yang mereka pegang.


Satu hal yang bisa dijadikan pegangan oleh pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan ini adalah Undang-undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pasal 31 tentang desentralisasi dalam penataan daerah. Pada pasal 31 ayat 2 poin f, dijelaskan bahwa penataan daerah ditujukan untuk memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya daerah. Budaya Minangkabau yang mengadopsi nilai-nilai Islam dalam aturan kehidupan mereka adalah hal yang patut dijaga, bukan dikacaukan dengan aturan yang merusak tatanan nilai yang sudah dibangun masyarakat.

Komunikasi Antarbudaya yang Lemah

Kajian Komunikasi Antarbudaya memiliki tujuan untuk menjaga keharmonisan hidup masyarakat dengan latar belakang budaya yang beragam dan untuk mengurangi konflik antarbudaya yang berbeda. Ada istilah yang sering digunakan dalam komunikasi ini yaitu sikap ‘mindful’ yang harus dikedepankan. Ini bisa diartikan sebagai sikap peka, pengertian, atau toleran. Sikap dan perilaku komunikasi yang tidak berhati-hati bisa menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Untuk itu, perlu kepekaan dalam mendudukkan permasalahan yang ada di masyarakat. Tak bisa asal ketok palu dan terburu-buru dalam membuat aturan dan menyelesaikan masalah yang ada.
Masyarakat Indonesia adalah bagian dari masyarakat Timur dengan tipikal masyarakat high context culture.

Pemerintah seharusnya memahami bahwa secara sosiologis dan psikologis masyarakat di Indonesia terbiasa menyelesaikan permasalahan dengan bermusyawarah, mengutamakan keharmonian hubungan yang menjunjung etika, dan saling menjaga hubungan antarindividu dan kelompok. Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah adanya upaya sepihak dan terburu-buru dalam pengambilan keputusan yang tidak melibatkan masyarakat yang bersangkutan. Undang-undang tentang penataan daerah dengan konsep desentralisasi tidak digubris. Maka wajar muncul pertentangan di masyarakat, terutama di masyarakat Minangkabau karena telah dilangkahi hak-hak mereka dalam pengaturan urusan kehidupan mereka.

Dialog adalah kunci dalam mediasi permasalahan antarbudaya di masyarakat. Dalam dialog ini dibutuhkan etika karena masyarakat dibangun atas nilai-nilai moral yang ini terinternalisasi dalam diri mereka. Memahami karakter budaya yang berbeda, standar moralitas yang dipegang, serta cara-cara kontrol sosial sebuah masyarakat adalah upaya yang harus dipahami pemerintah dalam menyelesaikan masalah yang ada. Inilah nanti yang akan membangun komunikasi yang efektif dalam pengelolaan konflik.


Nilai adat dan agama adalah identitas penting bagi masyarakat Minangkabau. Tentunya dibutuhkan cara komunikasi yang bisa mengakomodasi nilai-nilai identitas tersebut. Toleransi tidak hanya dibutuhkan oleh orang-orang dari kalangan minoritas, tapi juga masyarakat mayoritas agar tidak terjadi kekacauan pada internal mereka. Pemerintah sebagai mediator hendaknya memberikan perlakuan yang setara agar konflik sosial tidak muncul di masyarakat. Tuntutan dari masyarakat Minangkabau agar mencabut SKB Tiga Menteri tentang seragam sekolah harus diakomodasi supaya nilai-nilai identitas yang mereka pegang tetap terjaga dalam kehidupan internal mereka.

Mendaki Kebahagiaan

Ada orang-orang yang sibuk mencari kebahagiaan dengan sibuk menyenangkan fisik dan perasaannya. Ada pula orang-orang yang memilih untuk menempuh jalan-jalan yang mendaki dan penuh duri. Mereka tidak bersedih karena hal itu. Bukan kebahagiaan fisik yang mereka cari, tapi kebahagiaan akan ikatan kesadaran dan keyakinan. Bukankah mereka ini berbeda? Mereka tak bersedih atas apa-apa yang menimpa mereka.

Jika saya mengatakan dunia begitu kejam saat ini mungkin tak semua orang setuju. Karena ada yang benar-benar mencintai dan bersenang-senang dengan dunia. Tapi tidak untuk orang-orang teraniaya, yang hak-haknya dirampas, atau geraknya dikekang. Kehidupan mereka suram. Kadang saya menangis melihat orang-orang yang menjadi korban perang, imbas arogansi kekuasaan. Kehidupan mereka dirampas hingga rumah dan harta mereka hilang, mereka dengan tabahnya menjalani kesulitan-kesulitan itu bertahun-tahun bahkan mungkin seumur hidup mereka.

Atau orang-orang yang menjadi tahanan politik dimana kebebasannya untuk memilih kehidupan yang diperjuangkannya dirampas. Tapi mereka orang-orang kuat. Mereka tak bersedih. Mereka ikhlas dengan konsekuensi perjuangan itu. Bukankah itu jalan yang mereka telah pilih? Mendaki jalan-jalan berduri saat orang lain menyerah dan menjadi kacung yang merendahkan dirinya, namun secara fisik dia terbahagiakan oleh kelimpahan harta dan suap tak henti-hentinya.

Dua kelompok orang ini berbeda. Siapakah yang lebih bahagia? Tanyakanlah pada perjuangan dan mimpi-mimpi mereka. Kita akan tahu orang-orang yang kita anggap menderita itu lebih puas dan bahagia dengan cita-cita dan perjuangannya. Bukankah mereka berbeda?

Lalu mengapa saya menangis? Mengatakan dunia tak adil sedangkan mereka tersenyum dalam perjuangannya. Mereka tak pernah berhenti, terus bergerak maju. Jangan samakan kehidupan para pejuang dengan yang hanya sibuk mengisi perutnya dan hasrat-hasrat duniawinya. Lalu kita akan berdiri dimana? Menjadi manusia dengan rutinitas membosankan dan terkapar kelelahan karena mengejar dunia dan isinya, lalu mati dengan kekecewaan dan wajah muram tanpa senyum?

Saat orang-orang memilih bagaimana akan menjalani hidupnya. Di sanalah definisi hidup dan kebahagiaan itu akan mereka tempuh. Tiap orang memiliki definisi bahagianya masing-masing baik itu akan penuh suka cita maupun duka cita. Lalu bagaimana dengan saya yang kaki ini berada pada dua tempat yang berbeda. Satu mengejar dunia, satunya lagi ingin menempuh jalan sunyi orang-orang yang berani menanggung semua kepayahan. Bukankah tak akan bisa bersatu keimanan itu dengan hawa nafsu dunia? Jika kita berdiri di tengah bukankah kita tidak akan mendapatkan keduanya dengan utuh, hanya setengah-setengah.

Apakah surga itu diperuntukkan bagi orang yang setengah-setengah seperti ini? Atau pada orang yang menempatkan kakinya dengan kuat pada satu perjuangan dan cita-cita? Saya perlu meluruskan niat lagi. Dunia itu tempat kita menjalani hidup, bukan tempat tinggal. Menjauhi dunia tentu tak mungkin, tapi mengarahkan dunia pada tujuan-tujuan mencari keridaan Tuhan bukankah itu pilihan bulat yang tidak setengah-setengah?

Katakan akan jadi apa dirimu?