Politik

Propaganda Rusia

Kita memang tidak tahu apa yang ada di pikiran dan hati seseorang, tapi paling tidak kita bisa memahaminya dengan mengaitkan hal-hal yang membangun pemikirannya. Satu hal tersulit adalah memahami model propaganda politik. Seperti biasa, politik penuh tipu daya dan manuver. Sebut saja propaganda politik ala false flag yang bisa mengacaukan pikiran dan opini masyarakat. Dia yang berbuat malah orang lain yang dituduh dan dicitrakan demikian. Efeknya luar biasa, bahkan bisa membuat orang-orang yang satu kongsi saling tuding dan baku hantam. Propaganda ini lazim dilakukan pada masa perang, namun tidak terkecuali untuk propaganda politik secara umum.

Nah, sekarang muncul istilah baru yang jadi populer akhir-akhir ini yaitu propaganda Rusia. Di Indonesia istilah ini disebut-sebut oleh capres petahana pemilu 2019 untuk lawan politiknya. Sebenarnya istilah ini diambil dari publikasi kajian strategi yang dikeluarkan Rand Corporation di Amerika yang berjudul ” Russian “Firehouse of Falsehood” Propaganda Model: Why Might It Work and Options to Counter it. Inti propaganda ini adalah pada istilah Firehouse Falsehood yaitu menggaungkan informasi secara cepat, bertubi-tubi, dan diulang-ulang lewat banyak saluran hingga orang meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Artinya sebuah kebohongan yang dipropaganda dan akhirnya menjadi kebenaran. Ini hampir mirip dengan strategi propaganda NAZI yang dirancang oleh Joseph Goebbles, menteri propaganda Jerman masa Hitler. Begini formula Goebbles dalam menyebarkan propaganda:

“If you tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it. The lie can be maintained only for such time as the State can shield the people from the political, economic and/or military consequences of the lie. It thus becomes vitally important for the State to use all of its powers to repress dissent, for the truth is the mortal enemy of the lie, and thus by extension, the truth is the greatest enemy of the State”

Jadinya memang kebohongan itu dalam propaganda harus terus disebarkan agar orang meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Kebohongan lazimnya dilakukan oleh negara tentunya karena ia memiliki kuasa lebih, dan kata Goebbles kebohongan itu musuh utamanya adalah kebenaran, untuk itu negara harus terus-menerus menyebarkan kebohongan untuk menahan opini di luarnya. Ngeri amat ya.

Pada umumnya, di dunia politik atau masa perang, propaganda dibuat untuk mengelabui. Hanya saja, pilihan istilah strategi Propaganda Rusia yang dipakai oleh capres petahana ini agak kurang hati-hati. Sontak, banyak pihak kaget dengan apa yang dituduhkan oleh capres ini untuk menyerang lawan politiknya. Tidak cuma lawan yang merasa tertuduh, tapi yang ikut gerah adalah Dubes Rusia. Sang Dubes langsung angkat bicara dan menepis istilah propaganda yang membawa-bawa nama Rusia. Syukurnya tak muncul ketegangan antarnegara. Pernyataan capres petahana itu bisa masuk kategori logical fallacy “name calling” dan “ad hominem”. Menyerang lawan dengan tuduhan negatif. Padahal, pada waktu bersamaan bisa jadi dia juga melakukan hal yang sama. Jadi mungkin kita bisa sebut aksi ini sebagai counter attack pada lawan tapi dengan model false flag padahal punya tujuan sama yaitu firehouse of falsehood. As Goebbles said, the state plays the role to repress dissent.

Politik Emosi

Jelang Pilplres 2019 makin ramai perang isu. Semua bisa dijadikan bahan diskusi, perdebatan, bahkan untuk kampanye politis, entah untuk menyerang atau membangun citra. Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis masalah politik dan isu-isu kekinian, seringnya malah curhat di blog ini. Padahal, di medsos mah diskusinya politik melulu. Ini yang namanya dramaturgi kehidupan. Manusia dalam keadaan tertentu selalu memiliki front stage dan backstage-nya. Front stage saya adalah di kehidupa publik, termasuk di media sosial. Sedangkan backstage saya adalah ruang pribadi bersama orang-orang terdekat saya, termasuk blog ini. Kenapa blog juga? Karena saya tak punya banyak followers di blog ini, kecuali kalau ada yang stalking ya. Itu di luar pengetahuan saya. Masa iya ada yang stalking? Jika ada, bahaya ini. Jadi kelihatan sisi melankolisnya, padahal image saya adalah mandiri, strong, dan antilebay (haha…bawaannya curcol mulu di sini).

Ok, kembali ke isu trending di tahun politik ini. Bisa kita pastikan ketegangan dan polarisasi opini mulai mencuat setelah terjadinya kasus pencalonan Ahok di Pilkada Jakarta tahun 2016 lalu. Isu penolakan terhadap Ahok semakin memuncak gara-gara rekaman pernyataannya yang menyinggung surah Al Maidah 51, yang dianggap umat Islam bentuk pelecehan. Dalam hal ini saya setuju itu bentuk pelecehan. Bagaimanapun ayat itu adalah firman Allah yang menjadi landasan beriman, berpikir, dan berperilaku umat Islam. Larangan memilih pemimpin nonmuslim itu sangat jelas dan terang, bukan untuk dinegosiasikan. Jadi, ini bagi saya bukan urusan kepentingan politik tapi keimanan.

Dari hal-hal yang bersifat SARA ini kita bisa memahami bahwa dalam lingkup masyarakat plural, sangat riskan membenturkan hal-hal yang dianggap sakral. Sekarang isu berbau SARA ini terus bergulir, seolah tak belajar dari pengalaman. Akhir-akhir, ini publik kembali dibuat heboh oleh puisi Sukmawati Soekarnoputri yang membenturkan cadar dengan konde, azan dengan kidung. Siapa yang tak meradang dibanding-bandingkan begini? Perbandingan yang dibuat malah komparatif (better than) pula. Ini yang jadi pangkal konflik. Kalau bahasanya Al Quran “lakum dinukum waliyadin” aja lah.

Isu puisi ini sampai membuat masyarakat turun ke jalan menuntut Sukmawati dan bahkan melayangkan surat tuntutan hukum kepada pelaku. Isu ini seakan sedikit meredam saat Sukmawati meminta maaf kepada umat Islam. Tapi ya yang namanya maaf tidak selalu menyelesaikan masalah. Nah, tiap orang harus peka untuk urusan SARA ini, apalagi politisi. Sampai-sampai PDIP merasa terancam dengan perilaku Sukmawati yang notabene adalah saudara kandung Megawati. Bisa panjang cerita jika gara-gara ini elektabilitas partainya menurun. Sukmawati juga adalah seorang politisi dari partai PNI Marhaenisme, jadi posisinya dirinya cukup sulit sebenarnya terjerat dalam kasus ini. Maka, wahai politisi berhati-hatilah dengan omonganmu karena imbasnya adalah kepercayaan publik.

Bagaimanapun, kasus pelecehan agama ini tak lepas dari kepentingan politik. Jika umat Islam bergerak karena alasan keimanan, maka ada kelompok lain yang berupaya mengambil kesempatan untuk memberikan dukungan pada umat dengan memperlihatkan keberpihakan mereka. Ya mau bagaimana, pada akhirnya ini tidak dapat dihindari. Preferensi politik seseorang pasti juga dipengaruhi oleh sisi sosial kultural termasuk agama.

Polarisasi opini menjadi terbagi antara kelompok Islamis vs nasionalis-sekuler. Semakin tajam gesekannya dari hari ke hari. Hingga ada yang khawatir ini bisa menjadi perpecahan. Sekali lagi, perbedaan pandangan politik adalah hal yang tak dapat dihindari. Sekarang yang dibutuhkan adalah bagaimana menampilkan ideologi kedua kutub hingga tampak mana yang unggul dari segi kualitas sistem yang ingin dibangun. Kadang, sisi psikologi berupa emosi memang dapat mengambil simpati bahkan memenangkan, tapi tak cukup untuk mengurusi urusan rakyat, tetap saja dibutuhkan kualitas sistem yang akan dibangun. Maka dari itu, kedua kubu seharusnya bertarung dalam menampilkan kualitas pemikiran dan sistem yang akan dibangun untuk masyarakat. Memenangkan sesuatu dengan memicu konflik psikologis justru tidak membuat diri menjadi unggul hanya sekadar membangun emosi massa saja.

Menulis seperti George Orwell

George-Orwell-Quotes-Thinking

Apakah Anda pernah ingin menjadi penulis? Ketika memulai sebuah tulisan apa yang melatarbelakangi Anda membuatnya? Untuk pemula, sepertinya belum membuat target yang jelas dalam tulisannya, mungkin baru dalam rangka mengasah keterampilan menulis. Ada yang memulainya dengan menulis resensi, membuat puisi, menulis surat pembaca, atau sekadar berbagi pengalaman di blog, atau yang paling mudah adalah membuat status yang cukup panjang di media sosial.

Penulis yang benar-benar serius akan menjadikannya sebuah rutinitas dengan capaian yang jelas. Pada umumnya, orang menulis dilatarbelakangi oleh empat tujuan berikut ini, sebagaimana disimpulkan George Orwell-seorang penulis brilian kenamaan Inggris-dalam esai politiknya “Why I Write“:

  1. Sheer egoism

Banyak orang menulis karena ingin dikenang oleh sejarah, ingin dikenal dan diakui keilmuan dan kepintarannya. Pramoedya Ananta Toer tampaknya sepakat dengan alasan menulis karena hasrat egoisme ini. Dia pernah berkata dalam Rumah Kaca, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”

Memang tak bisa dipungkiri, alasan ini penggerak terbesar orang menulis. Tapi setidaknya, mereka berbagi kecerdasan dan ilmu yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Hanya saja, tentu tak cukup hanya ingin diakui dan dikenang, tentu dipertanyakan juga arah tulisan-tulisannya. Karena sekali-kali, penulis yang benar-benar menulis tidak pernah menulis sesuatu yang tidak memiliki maksud.

2. Aesthetic enthusiasm

Sebagian orang menulis karena ingin berbagi hal-hal yang mereka anggap indah atau bermakna estetik. Kenapa orang menulis puisi dan prosa? Salah satunya adalah karena alasan seni ini. Mereka mengerti bagaimana membahasakan keindahan hingga pembaca ikut bahagia dan menikmatinya.

Saya dulu sangat suka menulis puisi. Waktu masih kuliah, saya menempel puisi-puisi itu di styrofoam catatan dan timetable untuk diri sendiri. Teman-teman saya membacanya dan mereka menyukainya. Akhirnya saya jadi tergerak untuk membaginya di mading kampus dan majalah agar orang ikut merasakan apa yang saya tulis. Ketika ada yang bilang, “kok kamu bisa sih nemu diksi kayak gini?” Dibilang seperti itu saja saya sudah senang sekali.

Begitu juga dengan karya prosa seperti novel yang kata-katanya sangat memerhatikan prosodi (rima dan pola bunyi). Tak jarang pembacanya menemukan makna yang lebih mendalam dan indah untuk diimajinasikan dan rasakan. Artinya, betapa pentingnya unsur estetika ini mendorong seseorang dalam menulis.

3. Historical Impulse

Orang-orang terkadang menulis karena dorongan ingin mengompilasikan atau mendokumentasikan hal-hal penting yang pernah terjadi di era mereka untuk keperluan generasi mendatang. Mereka ingin mewariskan apa yang dimiliki peradaban masa itu untuk dipelajari, dikenang, atau dipertimbangkan pada peradaban manusia selanjutnya.

Kita sangat berterima kasih pada orang-orang yang telah menuliskan peristiwa sejarah di masa lampau, atau menuliskan tradisi-tradisi budaya etnis yang berkembang dulu. Tulisan-tulisan dengan latar belakang penulisan seperti ini bisa juga berupa temuan-temuan penting dalam ilmu pengetahuan. Dari sana kita belajar dan menghargai apa-apa yang telah dilalui manusia dalam hidupnya. Itu semua menjadi bekal dan pembelajaran di masa mendatang. Seperti kata Orwell dalam 1984, “He who controls the past controls the future. He who controls the present controls the past.” Bagaimana ini terjadi? Salah satunya adalah karena pengaruh tulisan.

Saat ini, banyak orang berusaha menuliskan nilai-nilai budaya mereka agar terus dapat dipelajari dan diwariskan. Dulu, ketika masyarakat masih belum memahami arti penting dokumentasi budaya dan sejarah, mereka berasumsi bahwa menyebarkan pesan lewat bahasa ujar akan menyelamatkan yang nilai-nilai budaya. Ternyata, tidak sesederhana itu.

Sahabat Rasulullah dulu berinisiatif untuk menuliskan teks Al Quran agar dapat diwariskan ke generasi berikutnya, walaupun jumlah penghapal Al Quran waktu itu sangat banyak sekali. Mereka mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan akan muncul di kemudian hari pada generasi mereka. Sekarang, umat Islam telah menikmati hasil tulisan tersebut yang berbentuk salinan teks dari bahasa ujar.

Saat ini, banyak nilai-nilai budaya hilang karena tidak dituliskan, apalagi jika suatu masyarakat tidak mengenal aksara tulis karena mereka hanya berkomunikasi lewat bahasa ujar. Mereka tidak mengenal asal-usul sesuatu dengan jelas, sejarah yang mereka dengar tidak akurat dan sulit dijadikan sebagai bukti.

4. Political Purpose

Orwell sangat sadar jika poin keempat ini adalah terpenting. Dia mengakui jika tiga hal pertama juga adalah tujuannya dalam menulis. Akan tetapi, yang keempat adalah tujuan utamanya. Bagaimanapun, tulisan seseorang pastilah memiliki kecenderungan pada suatu arus atau ideologi. Teknik beropini dan mengarahkan pesan sesuai maksud benar-benar dirancang agar sampai pada pembaca. Paling tidak, seseorang pasti akan menuliskan sesuatu yang menjadi kecenderungan dirinya. Dia tahu mana yang harus dituliskan dan mana yang tidak. Mengerti apa yang mesti ditonjolkan dan mana yang disamarkan. Terlebih lagi, para penulis dengan alasan politis paling memahami bagaimana merancang opini yang mereka giring dalam sebuah tulisan akan dapat membawa perubahan bagi masyarakat, dan tentunya sesuai dengan padangan politiknya.

Bisakah kita menuntut bahwa sebuah tulisan haruslah netral? Tentunya ini hal yang sangat sulit sekali, kecuali jika itu berhubungan dengan sains murni di mana dalam sebuah penelitian data-data diujikan sesuai standar kevalidan yang objektif. Fakta dan data berdiri sendiri, tidak bercampur dengan asumsi subjektif penelitinya.

Sedangkan pada tulisan-tulisan ilmu sosial termasuk penelitian sosial sekalipun, hasil temuan dan analisisnya bergantung pada persepsi penulisnya, ke mana ingin diarahkan. Maka subjektifitas penulis sangat kentara di sini. Begitu juga, ketika membaca buku populer, novel, atau opini di media massa subjektifitasnya dapat ditangkap dengan jelas. Di sinilah George Orwell bermain dalam tulisan-tulisannya.

Orwell sendiri memulai tulisan pertamanya berupa puisi saat masih duduk di sekolah dasar, ketika berumur sekitar 6 tahun. Hal yang menarik adalah sewaktu kecil dia sudah bertekad untuk menjadi penulis. Dia menulis apa pun peristiwa yang dia lalui dan amati ketika remaja.

Tampaknya ada benarnya jika kebanyakan penulis adalah seorang introvert. Orwell remaja adalah seorang introvert yang tidak populer di antara teman-temannya, sehingga dia punya banyak waktu untuk menuliskan perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya. Sewaktu duduk di jenjang perkuliahan, dia sering menulis dan mengirimkannya ke koran, bahkan dia pernah diminta untuk menjadi editor di majalah kampusnya.

Orwell baru serius menulis pada umur 30 tahun dengan diselesaikannya novel pertamanya The Burmese Days. Seiring dengan kehidupan Orwell yang mengalami perubahan, maka hal itu juga membawa pengaruh pada tulisan-tulisannya. Orwell yang pernah ditempatkan ke beberapa wilayah kolonisasi Inggris oleh pemerintah Inggris menjadi memahami bagaimana jahatnya kolonialisme dan imperialisme. Inilah yang mendorongnya untuk mendalami ideologi politik.

Latar belakangnya bekerja di bagian kepolisian Inggris di Burma dan India cukup membuatnya melihat ketidakadilan. Maka, dalam novel-novelnya dia selalu mengusung kritik terhadap isu kolonialisme dan totalitarianisme. Dalam novel Animal Farm dan 1984, Orwell mengkritik sistem ideologi Komunis a la Soviet yang menjurus pada totalitarian. Dia berusaha mempromosikan pemikiran sosialisnya yang egaliter dan adil. Walaupun, pada kondisi tertentu juga mengalami keabsurdan.

Apakah Orwell tak pernah mengalami kendala dalam menulis? Pastinya. Setiap orang pasti pernah mengalami hari-hari buruk dan hal-hal sulit dalam hidupnya. Novel Orwell pernah dianggap oleh salah seorang kritikus terlalu menjurus kepada jurnalisme, tidak enak dibaca dan kehilangan sisi estetikanya. Walaupun di sana dituliskan fakta-fakta dan data-data yang mungkin ingin diketahui orang banyak. Novel tetaplah novel, estetika sangat penting. Karena itulah Orwell pernah berkata, “What I have most wanted to do throughout the past ten years is to make political writing into an art”. Menulis dengan tujuan politis namun tetap membawa estetika. Itulah yang diinginkan pembaca. Apa pun yang Anda tulis, jangan lupakan estetikanya.

Pernahkah Anda membaca tulisan tentang politik tapi enak dan ringan dibaca? Saya terkagum-kagum pada orang-orang yang mampu menyederhanakan bahasa mereka yang rumit sehingga dapat dipahami oleh orang awam dengan sangat baik. Contoh tulisan politik yang sederhana tapi estetis itu saya temui ketika membaca buku Emha Ainun Najib seri Markesot, serta beberapa opini di surat kabar nasional, sebutlah Kompas dan Republika. Jika ingin mengungkap banyak data, maka beritalah yang tepat medianya, bukan sebuah tulisan opini atau esai. Opini dan esai “seharusnya” menjadi lahan untuk membingkai opini dan mempersuasi pembaca dengan argumentasi yang logis dan estetis. Orwell sudah membuktikannya. Betapa berpengaruh Animal Farm dan 1984-nya.