Sukses

Keberhasilan yang Menentramkan

Hidup terasa cukup sempurna saat kita memiliki teman-teman terbaik yang selalu hadir dalam keadaan terburuk dan terbaik. Mereka bahagia saat kita bahagia dan mereka hadir membawa semangat dan menenangkan di kala gundah dan sedih. Katakanlah kita hidup di situasi yang berbeda dan menghadapi persoalan berbeda, dan mengalami ketidakwarasan yang berbeda. Namun, kehadiran mereka mampu sebagai penyeimbang dan pembawa kestabilan. Kenapa? Karena kita bersama teman-teman terbaik yang senantiasa saling mengingatkan, menghibur, dan menguatkan. Dia tahu kondisi terburuk kita dan hadir sebagai penyelamat, begitu juga saat kondisi terburuknya kita hadir menemaninya dan meluruskan jika salah.

Sebenarnya apa yang sedang ingin saya bahas? Ini bukan semata soal adanya teman dalam kehidupan kita, tetapi bagaimana teman mampu membantu kita memandang dunia menjadi lebih luas dan dalam. Saya bersyukur diberi teman-teman terbaik yang senantiasa memandu pikiran dan kehidupan saya. Mereka sedikit banyaknya adalah bagian dari diri saya. Begitupun sebaliknya. Ada bagian diri saya di dalam jiwa mereka. Mungkin ini yang namanya soulmates. Belahan jiwa ternyata tak melulu tentang pasangan hidup yang melengkapi tapi juga teman-teman yang separuh diri mereka ada dalam pikiran dan jiwa kita.

Pagi ini saya mendapat nofikasi Whatsapp dari teman saya. Teman yang ada saat kondisi saya terpuruk. Tampaknya kali ini kami bertukar tempat. Saya dalam kewarasan optimal dan dia dalam kegalauan yang hampir menuju ketidakwarasan. Nah kan. Setiap orang akan mengalami ketidakwarasan yang berbeda-beda dalam hidupnya dikarenakan kondisi-kondisi tertentu yang terlalu membuat buyar dan tertekan.

Apakah yang sedang dihadapi teman saya itu? Rupanya dia sedang berusaha memahami kembali makna pencapaian dalam hidup. Apa sih yang dia galaukan? Ternyata dia berpikir ulang tentang arti pernikahan. Wah? Saya awalnya terbingung-bingung dan kaget. Apakah dia menyesal telah menikah? Teman saya menikah tahun lalu atas dasar keputusan mendadak karena dorongan orangtua dan usianya yang genting kian memaksa. Dia menikah dengan seseorang yang tidak masuk kriteria idamannya tapi masih bisa dia terima. Paling tidak, laki-laki yang dia nikahi shalih dan mampu menjadi pemimpin baginya. Saya dulu cukup kaget mendengar keputusannya, bahkan memastikan apa dia sadar melakukan itu dan siap menerima konsekuansinya. Seakan tak percaya dia akan membuat keputusan secepat dan senekat itu. Tapi mau bagaimana, itu sudah pilihannya. Setelah menikah apa dia bahagia? Apakah suaminya baik? Sebenarnya dia cukup bahagia dengan suami yang menyayanginya dan siap menghadapinya dengan penuh kesabaran.

Lalu di mana masalahnya? Nah, itu dia. Dia merasa tidak puas dengan hidup yang dijalaninya. Setelah menikah dia berhenti bekerja dan pulang ke kampung halamannya. Sekarang sudah memiliki bayi dan harus tinggal di rumah mengasuh setiap waktu. Apa lagi yang membuat tidak puas? Saya bertanya-tanya. Bukankah bagi banyak orang pernikahan adalah salah satu keberhasilan hidup? Apalagi punya anak. Sedangkan saya masih belum bisa meraih itu. Terkadang hidup memang aneh. Saya merenungi kesendirian saya sedangkan teman saya meratapi pernikahannya.

Akhirnya saya memahami bahwa apa yang dikatakan banyak orang sebagai keberhasilan belum tentu sebuah keberhasilan. Dan saya yang dikatakan belum berhasil belum tentu begitu. Teman saya justru iri dengan keadaan saya yang masih lajang, bisa berkarir, melakukan banyak hal yang saya sukai. Ya seperti menikmati hidup mungkin tepatnya. Padahal, dia tidak tahu apa yang saya rasakan. Bagaimana saya merasa kesepian dan merasa ada yang kurang. Dan saya juga ternyata baru tahu apa yang dia rasakan saat kegundahan melandanya. Ternyata pernikahan bukan bukti keberhasilan seseorang dalam hidup. Bahkan, ada teman saya yang lain dan sudah menikah menyarankan agar saya tidak perlu ngotot terburu-buru untuk menikah apalagi salah pilih pasangan. Jika waktunya tiba maka ia akan tiba juga katanya. Sebelum itu datang lebih baik optimalkan potensi diri untuk melakukan banyak hal yang positif seperti belajar, berkarya, dan mengeksplorasi hal yang kita suka dan tekuni.

Lalu apa sih sebenarnya keberhasilan itu? Kenapa makna keberhasilan jadi tidak pasti? Tulisan ini terinspirasi dari kajian Shubuh ustadz Abdul Somad tadi pagi tentang sukses hakiki. Kita mungkin sudah tahu, tapi sering lupa. Sukses yang sebenarnya yaitu senantiasa berada di jalan kebenaran yang diperintahkan Allah. Saya mencoba mengaitkan makna itu dengan kasus yang dialami teman saya, termasuk kasus saya sendiri. Saya menemukan makna keberhasilan dengan bahasa yang berbeda. Keberhasilan adalah saat kita ikhlas menerima apa yang diberikan Allah untuk kita. Menyukuri apa yang ada di hadapan kita. Makna keberhasilan bukan memiliki kekayaan berlimpah, punya paras cantik dan ganteng, menikah, punya anak, punya karir hebat, dan jabatan tinggi. Kenapa? Karena orang-orang yang memiliki hal tersebut masih saja tidak bahagia dengan apa yang mereka dapat. Bagaimana dengan orang yang hidup pas-pasan tapi bahagia? Atau tidak menikah dan punya anak tapi bahagia? Ternyata inti dari semua kebahagiaan yang berbanding lurus dengan keberhasilan itu adalah rasa syukur. Penerimaan atas keadaan yang ada dengan ikhlas. Bukankah setelah itu tak ada lagi kegalauan dan kekhawatiran? Saya berpikir, Allah pasti ingin membawa kita pada pemahaman ini. Berhasil berarti bersyukur atas apa yang Allah beri. Tetap berusaha memperbaiki diri dan melakukan yang terbaik untuk perubahan kehidupan di dunia dan akhirat yang diridhai Allah. Keberhasilan itu standarnya Allah yang menentukan. Apakah itu? Taqwa. Orang-orang bertaqwalah yang dikatakan Allah orang beruntung, sukses, dan berhasil. Bukan yang lainnya. Rasanya hidup lebih berarti dengan memaknai berhasil berdasarkan standar Allah ini.

”Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al A’raf: 69).

”Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah: 35).

“Maka adapun orang yang bertobat dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, maka mudah-mudahan dia termasuk orang yang beruntung.” (Al-Qashas 67)

Masih banyak ayat-ayat yang membahas definisi dan contoh menjadi sukses/beruntung. Sungguh pandangan Allah lebih menentramkan untuk hidup kita daripada mengikuti pandangan manusia kebanyakan. Karena Allah lebih tahu apa yang harus dipentingkan dan yang terbaik untuk diri kita. Jadi, syukuri apa yang ada dalam diri kita dan terus berdoa meminta kebaikan.